Senin, 17 Februari 2020

KAJIAN PROSA DAN PUISI JAWA


Biografi dan Puisi Karya “Herry Lamongan”

A.  Biografi Herry Lamongan
            Herry Lamongan adalah nama pena dari Djuhaeri yang lahir di Bondowoso 8 Mei 1959. Sekarang bertempat tinggal di Madedadi VI/36 Lamongan. Selain sebagai sastrawan, juga menjadi guru SD Jetis IV Lamongan. Ia mulai menulis puisi tahun 1983, dengan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Karya-karyanya dimuat di Panjebar Semangat, Jaya baya, Djaka Lodang, Mekarsari, Berita Buana, Gadis, Pelita, Horison, Hai, Merdeka, Swadesi, Simponi, Anita Cemerlang, Pikiran Rakyat (Cirebon), Yogya Post, Surabaya Pos, Salam, Suara Rakyat Semesta, Bali Post, Nusa Tenggara, Karya Bakti, dan sebagainya.
     Pada tahun 1989 Herry dinobatkan sebagai penulis puisi terbaik versi Sanggar Minum Kopi Denpasar. Sebagai penggurit juga pernah mendapatkan penghargaan dari Sanggar Triwida Tulungagung pada tahun 1985. Herry juga ikut membesarkan HP3N (Himpunan Penyair, Pengarang, Penulis Nusantara). Karya-karyanya terkumpul dalam antologi: Sang Penyair, Lamat, Surabaya Kotaku, Langkah, FP XII-1990, Lambaian Mutiara (1998), Negeri Bayang-bayang, Bercermin Memecah Badai, Negeri Pantai, Rebana Kesunyian, dan sebagainya. Kumpulan geguritannya: Kembang saka Ketintang (1990), Pangastawa (1991), Ayang-ayang Wewayangan (1992), Latar Ngarep (1998) Kabar saka Bendulmrisi (2001), Gunem Suwung (2002).

B.  Geguritan dan Puisi Herry Lamongan
            Layang Wuyung

Layang tanpa Prangko
Saka ngendi kakirim
Mung gambar alang-alang lan gagang kembang
Yen kowe sungkawa, nimas
Aja anonim
Aja anonim






            Lela Ledhung
saungkure konang
ireng wengi kang werit
nyulam ratan-ratan teles
atis udan pating kelip urut pager
nyuluhi latar-latar peteng

*Madedadi

            Sinyal Seratus Hari

dengan segala kereta
siang mengeluh di rel
penuh peluh
engkau antar tilas luka itu
melampaui seratus hari
dan seratus hari lagi
kota-kota semakin panas
mengeras
suara-suara lepas
menimbun benih-benih sajak-sajakku

masih di sana stasiun
masih pula sinyal, palang pintu, dan papan nama
tapi jam tak menunggumu di peron
hanya jejak tangan yang pernah lambai
sebutir air mata dan cinta yang berantakan di lantai

kita seperti telah berjumpa
tapi pukul berapa engkau menangis
apakah yang hendak pulih, sayangku
kecuali robek air oleh gugur sebutir batu
kita selau tiba pada suasana lebih jauh
daripada tempat-tempat yang pernah kita singgahi
berlalu
tanpa ada yang minta kita kembali

2007

Sebuah Ujung

Inikah laut Jawa
Di ujung paling timur pulau
Dimana pernah sidapaksa
Menyebabkan sungai wangi
Setelah menikam itu tubuh
Ia baringkan umur di air
Ia tengadahkan darah di muara
Inikah legenda dari pamor keris paling perih
Seorang patih pernah melukis luka
Ke itu tubuh
Ia jenazahkan cuaca
Ia kekalkan dendang senyap istriku

2007

Catatan Penat
Sekolom lesung mengirim sayap pipitnu
Naik dokar menjelang siang
Ia masih meringkuk, barangkali tertidur
Semilir puting beliung
Membelaimu sejak berangkat

Kusir itu dengan dasi bercorak papan catur
Berhenti tepat di gerbang muka rumahku
Menurunkan bebanmu, kelepakmu yang penat
Tapi siapa telah membopongmu?

Kudapati engkau masih pejam
Saat sampai di serambi sajak-sajakku
Si kusir debat
Sia-sia memanggil senyummu
Tak ada yang menggendongmu
Tak ada tajuk puisi di suatu koran pagi

2007

Lidi Segala Kata

Lindu apakah paling air mata
Lalu lalng ia di jalan jumpa
Hilirmudik ia di jalan pisah
Gelincir waktu
Lempeng sana dengan lempeng sini
Dalam bumi pengertian

Mungkin petang siap pesta
Amat pekat
Atau terlalu gelap beranda dada
Maka subuh dipijarkan
Gempa diwujudkan

Tak perlu sibuk menyesal
Sebab lidi segala kata
Sudah jauh
Berulang-ulang
Menyentuh ibu kota terdalam wilayah hati

Dan lelayung tangis
Dari gugur atap gugur puing dinding
Usai gempa
Hanya kabar pilu yang dikandaskan
Atas benak
Supaya kembali kepada makna
Betapa kita tak sendiri


Tapi lindu
Sampai ia berlalu
Mengapa kekal membasah

Kekal duka
Tak kunjung kering
Meski beribu kali
Tangnku pulang membasuhnya

Madedadi, November 2009

Mahlamah tanpa Makna

Ia menunggu, dimuka arloji detik dan suasana
Sambut menyambut merumuskan episode hari sampai ke tahun
Pria itu dengan segala siasat,
Menghapus berkas sepatunya yang membusuk di lantai
Sesekali lancar mulutnya menyembur kisah-kisah jenaka,
Mungkin sekedar menghibur diri
“Saya cuman mendelegasikan”

Tak ada dalam bukti, bahwa delegasi itu
Telah tiba kepada tujuan, saksi-saksi sudah lama menolaknya
Semakin bercak noda di lantai
Ketika sambil enggan, tak mampu ia
Mengelak keputusan yang memang seharusnya ia terima
“Saya mengajukan ralat”

Tak sedikitpun tersisa rasa malu pada dirinya
Orang-orang ketawa mendengar berita itu, duka dan bertanta di muka
Arloji waktu terus bergulir
Kelam seperti petang, menghilang warna tahun
Pria itu menunggu antara debar dan peluh
Sore belum lagi penuh

Ketika resmi ia dibikin putih,
Tapi langit tetap saja kelabu
Gagak bersahutan menandai
Mahkamah ambruk tiba-tiba
“Semua mesti lapang dada menimba comberan pekat ini”

O bumi berkabung
Mungkin geli

Madedadi, Maret 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar