Biografi
dan Puisi Karya “Herry Lamongan”
A. Biografi
Herry Lamongan
Herry Lamongan adalah nama pena dari Djuhaeri yang lahir
di Bondowoso 8 Mei 1959. Sekarang bertempat tinggal di Madedadi VI/36 Lamongan.
Selain sebagai sastrawan, juga menjadi guru SD Jetis IV Lamongan. Ia mulai
menulis puisi tahun 1983, dengan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Karya-karyanya
dimuat di Panjebar Semangat, Jaya baya, Djaka Lodang, Mekarsari, Berita Buana,
Gadis, Pelita, Horison, Hai, Merdeka, Swadesi, Simponi, Anita Cemerlang,
Pikiran Rakyat (Cirebon), Yogya Post, Surabaya Pos, Salam, Suara Rakyat
Semesta, Bali Post, Nusa Tenggara, Karya Bakti, dan sebagainya.
Pada tahun 1989 Herry dinobatkan sebagai penulis puisi terbaik
versi Sanggar Minum Kopi Denpasar. Sebagai penggurit juga pernah mendapatkan
penghargaan dari Sanggar Triwida Tulungagung pada tahun 1985. Herry juga ikut
membesarkan HP3N (Himpunan Penyair, Pengarang, Penulis Nusantara). Karya-karyanya
terkumpul dalam antologi: Sang Penyair, Lamat, Surabaya Kotaku, Langkah, FP
XII-1990, Lambaian Mutiara (1998), Negeri Bayang-bayang, Bercermin Memecah
Badai, Negeri Pantai, Rebana Kesunyian, dan sebagainya. Kumpulan geguritannya:
Kembang saka Ketintang (1990), Pangastawa (1991), Ayang-ayang Wewayangan
(1992), Latar Ngarep (1998) Kabar saka Bendulmrisi (2001), Gunem Suwung (2002).
B. Geguritan
dan Puisi Herry Lamongan
Layang Wuyung
Layang tanpa Prangko
Saka ngendi kakirim
Mung gambar alang-alang
lan gagang kembang
Yen kowe sungkawa,
nimas
Aja anonim
Aja anonim
Lela
Ledhung
saungkure konang
ireng wengi kang werit
nyulam ratan-ratan
teles
atis udan pating kelip
urut pager
nyuluhi latar-latar
peteng
*Madedadi
Sinyal Seratus
Hari
dengan segala kereta
siang mengeluh di rel
penuh peluh
engkau antar tilas luka
itu
melampaui seratus hari
dan seratus hari lagi
kota-kota semakin panas
mengeras
suara-suara lepas
menimbun benih-benih
sajak-sajakku
masih di sana stasiun
masih pula sinyal,
palang pintu, dan papan nama
tapi jam tak menunggumu
di peron
hanya jejak tangan yang
pernah lambai
sebutir air mata dan
cinta yang berantakan di lantai
kita seperti telah
berjumpa
tapi pukul berapa
engkau menangis
apakah yang hendak
pulih, sayangku
kecuali robek air oleh
gugur sebutir batu
kita selau tiba pada
suasana lebih jauh
daripada tempat-tempat
yang pernah kita singgahi
berlalu
tanpa ada yang minta
kita kembali
2007
Sebuah
Ujung
Inikah laut Jawa
Di ujung paling
timur pulau
Dimana pernah
sidapaksa
Menyebabkan
sungai wangi
Setelah menikam
itu tubuh
Ia baringkan
umur di air
Ia tengadahkan
darah di muara
Inikah legenda
dari pamor keris paling perih
Seorang patih
pernah melukis luka
Ke itu tubuh
Ia jenazahkan
cuaca
Ia kekalkan
dendang senyap istriku
2007
Catatan Penat
Sekolom lesung
mengirim sayap pipitnu
Naik dokar
menjelang siang
Ia masih
meringkuk, barangkali tertidur
Semilir puting
beliung
Membelaimu sejak
berangkat
Kusir itu dengan
dasi bercorak papan catur
Berhenti tepat
di gerbang muka rumahku
Menurunkan
bebanmu, kelepakmu yang penat
Tapi siapa telah
membopongmu?
Kudapati engkau
masih pejam
Saat sampai di
serambi sajak-sajakku
Si kusir debat
Sia-sia
memanggil senyummu
Tak ada yang
menggendongmu
Tak ada tajuk
puisi di suatu koran pagi
2007
Lidi Segala Kata
Lindu apakah
paling air mata
Lalu lalng ia di
jalan jumpa
Hilirmudik ia di
jalan pisah
Gelincir waktu
Lempeng sana
dengan lempeng sini
Dalam bumi
pengertian
Mungkin petang
siap pesta
Amat pekat
Atau terlalu
gelap beranda dada
Maka subuh
dipijarkan
Gempa diwujudkan
Tak perlu sibuk
menyesal
Sebab lidi
segala kata
Sudah jauh
Berulang-ulang
Menyentuh ibu
kota terdalam wilayah hati
Dan lelayung
tangis
Dari gugur atap
gugur puing dinding
Usai gempa
Hanya kabar pilu
yang dikandaskan
Atas benak
Supaya kembali
kepada makna
Betapa kita tak
sendiri
Tapi lindu
Sampai ia
berlalu
Mengapa kekal
membasah
Kekal duka
Tak kunjung
kering
Meski beribu
kali
Tangnku pulang
membasuhnya
Madedadi,
November 2009
Mahlamah tanpa Makna
Ia menunggu,
dimuka arloji detik dan suasana
Sambut menyambut merumuskan episode
hari sampai ke tahun
Pria itu dengan segala siasat,
Menghapus berkas sepatunya yang
membusuk di lantai
Sesekali lancar mulutnya menyembur
kisah-kisah jenaka,
Mungkin sekedar menghibur diri
“Saya cuman mendelegasikan”
Tak ada dalam bukti, bahwa delegasi
itu
Telah tiba kepada tujuan,
saksi-saksi sudah lama menolaknya
Semakin bercak noda di lantai
Ketika sambil enggan, tak mampu ia
Mengelak keputusan yang memang
seharusnya ia terima
“Saya mengajukan ralat”
Tak sedikitpun tersisa rasa malu
pada dirinya
Orang-orang ketawa mendengar berita
itu, duka dan bertanta di muka
Arloji waktu terus bergulir
Kelam seperti petang, menghilang
warna tahun
Pria itu menunggu antara debar dan
peluh
Sore belum lagi penuh
Ketika resmi ia dibikin putih,
Tapi langit tetap saja kelabu
Gagak bersahutan menandai
Mahkamah ambruk tiba-tiba
“Semua mesti lapang dada menimba
comberan pekat ini”
O bumi berkabung
Mungkin geli
Madedadi, Maret 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar