Lagu
Dolanan, Injeksi bagi Pendidikan Karakter
Oleh
Yanuar
Bayu Isnaeni, S.Pd, M.Pd.
Guru
Bahasa Jawa di SMA N 1 Jekulo Kudus
Pendidikan
karakter merupakan bagian penting bagi dunia pendidikan. Dalam UU no.23 tahun 2003 disebutkan, tujuan
pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan
dengan tujuan tersebut, pendidikan karakter bertujuan meningkatkan mutu dan
hasil pendidikan dengan dilandasi akhlak mulia. Ada sembilan pendidikan karakter
yang mengandung nilai-nilai luhur, meliputi: (1) cinta kepada Tuhan dan alam
semesta beserta isinya, (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3)
kejujuran, (4) hormat dan sopan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan
kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7)
keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, cinta
damai, dan persatuan (Megawangi, 2010).
Nilai luhur tersebut
dapat diterapkan pada anak sejak usia dini. Usia dini merupakan usia emas, maka
harus dimanfaatkan dengan baik. Pada periode itu otak anak sedang berkembang
pesat. Mereka mampu menyerap cepat apa yang dilihat dan didengar. Masa
kanak-kanak merupakan masa untuk bermain. Oleh karena itu, mendidik anak akan
lebih efektif jika menggunakan metode belajar sambil bermain. Salah satunya dengan
mengenalkan lagu dolanan.
Generasi
milenial Jawa tidak begitu familiar dengan lagu dolanan. Mereka lebih mengenal lagu K-Pop, Via Vallen, Guyon Waton,
dan sejenisnya. Sehingga lagu dolanan jarang didendangkan. Apalagi anak-anak
Jawa di daerah perkotaan nyaris tidak mengenali lagu dolanan. Ini pengaruh lingkungan dan orang tua Jawa yang tidak
mengenalkan lagu dolanan pada anak.
Padahal lagu tersebut mengandung nilai moral yang dapat membentuk karakter
anak. Sebagai contoh lagu dolanan Menthog-menthog, Gundhul-gundhul Pacul, dan Jaranan.
Lagu Menthog-menthog menggambarkan sifat
pemalas. Pada lirik “mbok ya aja ngetok, ana kandhang wae memiliki makna jangan hanya sembunyi
dan duduk, di kandang saja. Disambung “enak-enak ngorok, ora nyambut gawe” yang berarti enak-enak mendengkur,
tidak bekerja. Secara implisit, lagu Menthog-menthog
mengajarkan anak supaya rajin dan bekerja keras.
Sementara itu Gundhul-gundhul Pacul menggambarkan
seorang anak yang jelek (gundhul),
sombong (gembelengan), dan tidak
bertanggung jawab. Pada lirik “nyunggi-nyunggi wakul-kul gembelengan” (membawa
bakul dengan sombong); “wakul ngglempang, segane dadi sak ratan” (bakul
jatuh, nasi tumpah berantakan di jalan). Anak tersebut mempunyai tanggung jawab
membawa bakul, namun karena sombong, maka nasi tumpah berantakan di jalan. Gundhul-gundhul Pacul mengajarkan kepada
anak-anak selalu bersikap rendah hati dan bertanggung jawab dalam hal apapun.
Selaras
dengan Gundhul-gundhul Pacul, lagu Jaranan juga
mengajarkan sikap hormat kepada atasan,
orang yang lebih tua, atau berkedudukan lebih tinggi. Lirik lagu ini menyiratkan
pentingnya kebersamaan, karena pada dasarnya manusia itu saling membutuhkan.
Orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi membutuhkan orang yang lebih
rendah, begitu juga sebaliknya. Ndara Bei merupakan simbol pemangku jabatan yang harus dihormati
pengikutnya (para mantri).
Berdasarkan
uraian di atas, lagu dolanan memiliki nilai pendidikan karakter
meliputi: rajin, bekerja keras, sikap menghormati, kebersamaan, tanggung jawab,
dan rendah hati. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan teladan bagi anak dalam
pembentukan karakter. Sebagai masyarakat yang berbudaya, sudah semestinya kita menjaga
dan melestarikan lagu dolanan. Kalau bukan kita siapa lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar