Senin, 17 Februari 2020

Lagu Dolanan


Lagu Dolanan, Injeksi bagi Pendidikan Karakter
Oleh
Yanuar Bayu Isnaeni, S.Pd, M.Pd.
Guru Bahasa Jawa di SMA N 1 Jekulo Kudus

Pendidikan karakter merupakan bagian penting bagi dunia pendidikan.  Dalam UU no.23 tahun 2003 disebutkan, tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan tujuan tersebut, pendidikan karakter bertujuan meningkatkan mutu dan hasil pendidikan dengan dilandasi akhlak mulia. Ada sembilan pendidikan karakter yang mengandung nilai-nilai luhur, meliputi: (1) cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya, (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3) kejujuran, (4) hormat dan sopan santun, (5)  kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan  (Megawangi, 2010).
Nilai luhur tersebut dapat diterapkan pada anak sejak usia dini. Usia dini merupakan usia emas, maka harus dimanfaatkan dengan baik. Pada periode itu otak anak sedang berkembang pesat. Mereka mampu menyerap cepat apa yang dilihat dan didengar. Masa kanak-kanak merupakan masa untuk bermain. Oleh karena itu, mendidik anak akan lebih efektif jika menggunakan metode belajar sambil bermain. Salah satunya dengan mengenalkan lagu dolanan.
Generasi milenial Jawa tidak begitu familiar dengan lagu dolanan. Mereka lebih mengenal lagu K-Pop, Via Vallen, Guyon Waton, dan sejenisnya. Sehingga lagu dolanan jarang didendangkan. Apalagi anak-anak Jawa di daerah perkotaan nyaris tidak mengenali lagu dolanan. Ini pengaruh lingkungan dan orang tua Jawa yang tidak mengenalkan lagu dolanan pada anak. Padahal lagu tersebut mengandung nilai moral yang dapat membentuk karakter anak. Sebagai  contoh lagu dolanan Menthog-menthog, Gundhul-gundhul Pacul, dan Jaranan.
Lagu Menthog-menthog menggambarkan sifat pemalas. Pada lirik “mbok ya aja ngetok, ana kandhang wae memiliki makna jangan hanya sembunyi dan duduk, di kandang saja. Disambung “enak-enak ngorok, ora nyambut gawe” yang berarti enak-enak mendengkur, tidak bekerja. Secara implisit, lagu Menthog-menthog mengajarkan anak supaya rajin dan bekerja keras.
Sementara itu Gundhul-gundhul Pacul menggambarkan seorang anak yang jelek (gundhul), sombong (gembelengan), dan tidak bertanggung jawab. Pada lirik “nyunggi-nyunggi wakul-kul gembelengan” (membawa bakul dengan sombong); “wakul ngglempang, segane dadi sak ratan” (bakul jatuh, nasi tumpah berantakan di jalan). Anak tersebut mempunyai tanggung jawab membawa bakul, namun karena sombong, maka nasi tumpah berantakan di jalan. Gundhul-gundhul Pacul mengajarkan kepada anak-anak selalu bersikap rendah hati dan bertanggung jawab dalam hal apapun.
Selaras dengan Gundhul-gundhul Pacul, lagu  Jaranan juga mengajarkan sikap hormat kepada atasan, orang yang lebih tua, atau berkedudukan lebih tinggi. Lirik lagu ini menyiratkan pentingnya kebersamaan, karena pada dasarnya manusia itu saling membutuhkan. Orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi membutuhkan orang yang lebih rendah, begitu juga sebaliknya. Ndara Bei merupakan simbol pemangku jabatan yang harus dihormati pengikutnya (para mantri).
Berdasarkan uraian di atas, lagu dolanan memiliki nilai pendidikan karakter meliputi: rajin, bekerja keras, sikap menghormati, kebersamaan, tanggung jawab, dan rendah hati. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan teladan bagi anak dalam pembentukan karakter. Sebagai masyarakat yang berbudaya, sudah semestinya kita menjaga dan melestarikan  lagu dolanan. Kalau bukan kita siapa lagi?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar